Moderasi Belajar dalam Pendidikan

Kasus-kasus yang sering terjadi dalam lembaga pendidikan turut mempengaruhi kondisi pendidikan di Indonesia. Antara lain kasus pelecehan seksual terhadap peserta didik di sekolah, adanya pemaksaan bagi siswa-siswi tertentu yang berbeda agama untuk menggunakan simbol agama tertentu, pemukulan oknum guru terhadap siswa, pemberian sanksi dari guru yang berakibat pada munculnya trauma yang permanen dan berkepanjangan dari siswa tertentu, dan berbagai kasus lain yang mewarnai dunia pendidikan di Indonesia yang sering kita dengar di media sosial. Padahal disatu sisi, Kurikulum 2013 sangat menekankan pada proses pendidikan yang interaktif, edukatif, menghargai nilai-nilai moral kemanusiaan dan budaya serta pengarusutamaan pada pendidikan yang ditujukan untuk mengedepankan peningkatan aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) peserta didik.

Sebagai bangsa yang masyarakatnya majemuk, kita sering menyaksikan adanya gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang dalam berbagai interaksi yang terjadi di dunia pendidikan. Realitas ini mau dan tidak mau akan turut memberi warna kelam dalam dunia pendidikan dan mengganggu keseluruhan proses pendidikan manusia yang terjadi di lembaga pendidikan formal. Hal ini mestinya tidak boleh terjadi karena lembaga pendidikan adalah lembaga yang independen dan murni mengedepankan nilai-nilai edukatif dan menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan dalam pengelolaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Namun, perspektif yang berbeda justru seringkali tergambar dan sering terjadi dalam lembaga pendidikan. Proses pendidikan seringkali dibentuk berdasarkan perpspektif tertentu yang sejatinya tidak diharapkan muncul dalam dunia pendidikan. Proses yang terjadi di sekolah seperti menampilkan adanya perbedaan perlakuan. Guru seperti penguasa, sosok yang paling kuat dan maha tahu. Sementara di satu sisi peserta didik dianggap tidak bisa berbuat apa-apa atau menentang konsep dan perilaku yang tidak baik dari guru. Siswa selalu diidentikkan sebagai kaum lemah dan bodoh. Banyak guru yang memperlakukan siswa secara diskriminatif. Seringkali siswa yang berasal dari keluarga berada atau kelas menengah ke atas diberi perlakuan khusus, sementara siswa dari keluarga kelas menengah ke bawah diperlakukan tidak sama dengan siswa yang berasal dari kelas menengah ke atas.

Ada fenomena lain yang juga menggambarkan rendahnya layanan pendidikan di sekolah seperti memperlakukan anak-anak seperti “pekerja”. Banyak siswa disuruh membuat pagar, entah pagar tembok maupun kayu. Padahal, apabila dilihat dari segi fisik anak-anak tersebut belum layak untuk sebuah pekerjaan serupa. Belum lagi dengan perlakuan yang berbeda dengan anak-anak yang tingkat kecerdasan cukup bagus dibandingkan dengan mereka yang mempunyai daya tangkap tidak seperti mereka yang cukup bagus. Ada apa dengan dunia pendidikan? Bagaimana moderasi pembelajaran bisa berjalan di sekolah agar dapat menghasilkan output yang berkualitas untuk pembangunan bangsa dan Negara.

Baca Juga :   PERAN PEMUDA DALAM LITERASI MENGHADAPI COVID-19

Konsep moderasi mempunyai banyak defenisi yang berbeda-beda. Namun, dalam kesempatan ini saya ingin melihat moderasi dari sudut etimologi kata moderasi itu sendiri. Moderat adalah sebuah kata sifat, turunan dari kata moderation yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an, tidak kelebihan, dan tidak kekurangan, alias seimbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata moderasi didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan, atau penghindaran keekstreman. Maka, ketika kita menyandingkan dengan konteks pendidikan di lembaga pendidikan formal, maka moderasi di sekolah dapat diartikan merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari perilaku ekstrem dalam cara pandang, sikap dan perilaku di dalam pelaksanaan proses pendidikan di kelas.

Lalu, bagaimana menyikapinya?

Proses pendidikan mesti menjadi keseluruhan proses yang mengedepankan pada pentingnya menempatnya nilai kemanusiaan yang paling tinggi di atas segalanya. Mengaminkan atau mendiamkan keseluruhan peristiwa yang terjadi dalam proses pendidikan adalah sebuah hal yang tidak mungkin, karena itu sangat mengkerdilkan nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Maka, perlu adanya kendali dalam proses pendidikan melalui kebijakan dan aturan yang dibuat. Selain itu, guru harus memahami sejauh mana peran guru dan kompetensi yang harus dimiliki seorang guru sebagai seorang yang profesional. Guru harus mempunyai kemampuan seperti 4 (Empat) kompetensi sehingga mereka mampu berperan secara profesional dalam pelaksanaan tugas mereka sebagai seorang pendidik. Guru harus mempunyai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Mendidik bukan berarti menguasai. Mendidik berarti guru bersama-sama dengan peserta didik menyikapi setiap kondisi dengan memanfaatkan kemampuan berpikir atau rasio kemudian menemukan solusi terhadap kendala dan masalah yang dihadapi dalam hidup dengan mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan.

Sejauh Mana Pentingnya Moderasi Dalam Dunia Pendidikan?

Menjadi tidak ekstrem dan tidak bertindak berbeda sendiri bahkan bertindak tidak manusiawi serta tidak mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan, adalah salah satu kata kunci paling penting dalam menerapkan pola moderasi dalam dunia pendidikan. Karena tindakan-tindakan dan perilaku-perilaku tersebut entah apapun bentuknya kita yakini sangat bertentangan dengan prinsip dalam dunia pendidikan. Ekstremitas dalam berbagai bentuknya, dianggap bertentangan dengan esensi dan hakikat manusia sebagai makhluk susila. Manusia susila artinya manusia yang taat dan patuh terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, di tempat mereka berinteraksi dengan orang yang mereka jumpai setiap hari dalam dunia kerja secara khusus dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, pendidik harus juga memahami manusia yang dididik sebagai makhluk bersusila sehingga penting bertingkah laku sesuai dengan nilai yang ada dalam dunia pendidikan, kultur yang dihidupi bersama di sekolah dan norma serta ajaran masyarakat sehingga dapat menjadi penunjang keberhasilan individu peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Banyak perilaku dan paham yang salah yang seringkali dihidupi oleh peserta didik yang cenderung merusak tatanan kehidupan bersama, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sumbernya dari lembaga pendidikan. Maka, perlu dipahami bahwa peran guru dalam mendidik generasi penerus bangsa perlu disadari secara baik sehingga mampu melaksanakan proses pendidikan yang cenderung konstruktif sehingga mampu menghasilkan peserta didik yang mempunyai potensi berpikir yang baik atau bijaksana, bersusila, sebagai makhluk yang berperasaan, berkehendak baik, dan memiliki potensi daya cipta. Moderasi sangat penting agar keseluruhan proses pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan apa yang sesungguhnya dikehendaki. Menghasilkan output yang berkualitas. Dengan demikian, pengenalan terhadap manusia dan hakikat manusia adalah sangat penting terutama sebagai pendidik. Pemahaman terhadap hakikat manusia dalam pembelajaran dapat memberikan kontribusi kepada peserta didik. Selain itu, rambu-rambu untuk mengenali eksistensi peserta didik dapat terbuka lebar.

Baca Juga :   Tantangan dan Peluang Pembelajaran Berbasis Digital

Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem.

John McManama (Soenarwan, 1991: 7), mengemukakan sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai satu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang dinginkan secara efektif dan efisien. Cara pandang ini menjadi salah satu dasar acuan bagi para pendidik untuk memahami keseluruhan proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Guru secara basic keilmuan mesti memahami dan mampu mengukur sejauh mana implementasi pengetahuan dan praktik yang terjadi di kelas dapat mempengaruhi keseluruhan kehidupan peserta didik baik saat masih mengenyam pendidikan di sekolah maupun setelah kelak anak-anak sudah hidup dalam lingkungan konkret di masyarakat.

Gambar

 Model SIstem Terbuka dalam Pengelolaan Pendidikan (Soenarwan, 1991: 21)

Dari gambar di atas ditunjukkan dengan sangat jelas bahwa keberhasilan sebuah proses pendidikan sangat ditentukan oleh sistem yang diterapkan di sekolah. Salah satu yang penting diperhatikan adalah bagaimana guru mengimplementasikan keseluruhan sistem pendidikan agar dapat menghasilkan kualitas output yang mumpuni, sehingga dapat diterima dengan baik di lingkungan masyarakat dan kelak dapat berguna untuk kepentingan pembangunan secara menyeluruh. Maka, penting sekali moderasi dalam dunia pendidikan perlu diciptakan dengan baik dan dikondisikan oleh para pendidik dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Sejalan dengan cara pandang aliran rekonstruksionisme, mereka menekankan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru, yaitu suatu masyarakat global yang saling ketergantungan dan menyusun kembali penataan ulang atau merekonstruksi masyarakat (Usiono, 2011: 155). Sekolah diharapkan dapat menjadi tempat dimana peserta didik mempunyai proyeksi akan sebuah relaitas kehidupan yang terjadi kelak di masyarakat. Dengan demikian, maka proses yang terjadi di sekolah perlu menghidupi semangat moderasi dalam keseluruhan proses pembelajaran. Peserta didik mesti dibekali dengan berbagai nilai yang mampu menghasilkan output yang yang berkualitas dan siap pakai. Proses pendidikan saat ini mesti menghasilkan manusia modern dengan cara berpikir yang lebih modern pula, namun tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan nilai-nilai lain yang berlaku di kalangan masyarakat umum (Rulam Ahmadi: 2020: 44).  

Baca Juga :   MEMANFAATKAN POTENSI YANG DIMILIKI DALAM MEMBANGUN DAERAH

Moderasi dalam konteks pembelajaran secara khusus di wailayah kita Nusa Tenggara Timur dan secara khusus di pulau Sumba yang “cenderung” menerapkan proses pendidikan dengan menggunakan “kekerasan” akibat perangai dan perilaku anak-anak kita. Kondisi seperti ini perlu harus diperhatikan secara lebih sungguh mengingat proses pendidikan adalah proses pemanusiaan. Moderasi pendidikan menjadi pekerjaan rumah bersama bagi setiap organ yang berperan dalam dunia pendidikan. Pendidik perlu mengoptimalisasi potensi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimiliki siswa. Guru juga perlu berupaya mewariskan nilai-nilai budaya secara lebih kreatif untuk menghindari anak-anak tercabut dari akar budaya yang sudah diwarisi oleh nenek moyang, dan mengembangkan daya adaptabillitas peserta didik untuk menghadapi situasi masa depan yang terus berubah. Selain itu, guru perlu menjamin agar peserta didik dapat meningkatkan dan mengembangkan tanggungjawab moral dengan dasar spirit dan keyakinan mereka masing-masing, mendorong dan membantu siswa mengembangkan tanggung jawab terhadap kehidupan pribadi dan sosialnya dan membantu siswa menciptakan kondisi yang kondusif dalam memperoleh pengetahuan sehingga mampu mengkonstruksi pengetahuan secara baik, bebas dan bertanggung jawab ((Rulam Ahmadi: 2020: 45).

Moderasi dalam pembelajaran harus kita jadikan sebagai sarana mewujudkan lahirnya manusia dan generasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berpengetahuan, bersikap dan berketerampilan sehingga tujuan pembangunan nasional dapat tercapai agar dapat mewujudkan Indonesia Maju. Dengan demikian, kita sebagai pendidik dan organ yang berperan dalam dunia pendidikan, kita menjaga dan mengedepankan moderasi dalam pembelajaran sehingga proses pendidikan dapat menghasilkan output yang unggul demi pembangunan Indonesia secara menyeluruh.-

Referensi:

Ahmadi, Rulam; 2020: Pengantar Pendidikan: Asas & Filsafat Pendidikan,Yogyakarta: AR-Ruzz Media. Kemenag.go.id. *** (Yanto Umbu, M. Pd., Penulis adalah dosen STKIP Weetebula),-