Banyak di antara para pejuang hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang awalnya dengan semangat memperjuangkan hak-hak kaum yang terpinggirkan, akhirnya menghadapi kenyataan yang kejam.
Saat mereka masih dalam semangat perjuangan, beberapa teman seperjuangan mereka diculik dan bahkan dibunuh. Ada yang harus menghadapi kematian yang sadis, ditembak mati, lalu mayatnya dibuang ke laut. Aktivis yang pada awalnya teguh dalam pendirian mereka, akhirnya merasa terancam akan hidup mereka sendiri. Lalu mereka mulai melihat iming-iming tahta, harta, dan kenikmatan dunia.
Gaya hidup mereka yang dulu sederhana berubah menjadi borjuis. Nurani mereka meredup, bahkan telinga mereka seakan tuli saat mendengar jeritan hak-hak kaum terpinggirkan. Dan mulut mereka terkunci rapat, tidak berani bersuara.
Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya kaum yang terpinggirkan dirampok tanpa ampun. Bahkan anak-anak mereka dijual sebagai korban perdagangan manusia. Dalam situasi ini, terdengar suara lantang Wiji Thukul dan Basodara yang sebelumnya hilang. Terdengar pula doa dan tangisan seorang anak jalanan yang kini telah menjadi hamba Tuhan yang berjuang melawan lupa.
Satu per satu, para pejuang yang dulu dianggap pahlawan harus menghadapi nasib mereka sendiri, tak lagi mendapat dukungan dari teman-teman seperjuangan. Namun, di dalam hati dan pikiran mereka, suara Lazarus yang dulu terlupakan akhirnya hidup kembali.
Dan di tempat yang disediakan oleh Sang Pencipta, dalam pelukan Bapa Abraham di Taman Eden, suara kaum yang terpinggirkan akhirnya mendapatkan tempat yang layak dan abadi. *** (Gabriel de Sola)