Catatan Demokrasi Kabupaten Sumba Barat Daya.
Aristoteles pernah berujar, demokrasi bukan saja secara ideal sebagai sebuah kebebasan, tetapi merupakan sebuah kepercayaan (trust) dan tanggung jawab (responsibility). Pada dasarnya, kebebasan yang termuat dalam kosa kata demokrasi merespon secara positif tentang sistem pemerintahan yang mengijinkan dan memberikan hak, kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat serta turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan.
Pemahaman ini memberikan dorongan paling kuat bahwa rakyat memiliki hak dan kebebasan dalam bernegara yang dikonkretkan dalam bentuk tanggung jawab rakyat itu sendiri. Artinya, konsep pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat merupakan bentuk pemberian kepercayaan (trust) diwujudnyatakan dalam tanggung jawab (responsibility) baik dalam pengelolaan pemerintahan, pembagian kekuasan, berpolitik, negosiasi, dan kapasitas peningkatan ekonomi, sosial, budaya, dan kesejahteraan semua orang.
Pesta Demokrasi
Dari trust dan responsibility ini, penyelenggaraan demokrasi seharusnya berimbang, karena demokrasi ada di tangan rakyat. Rakyat harus merayakan demokrasi layaknya sebuah pesta. Pesta ini harus diselenggarakan secara cermat oleh penyelenggara untuk demokrasi yang utuh. Oleh karena itu, orang-orang yang terjun dalam dunia politik dan pemerintahan seharusnya adalah orang-orang terpilih untuk mengatur alur pesta dengan tujuan akhir sebuah kedamaian, kebahagiaan, kesejahteraan, dan situasi layak tanpa diskriminasi.
Perayaan demokrasi harus penuh kepercayaan dan tanggung jawab memungkinkan untuk meminimalisir kecurangan, korupsi, kekerasan, diskriminasi, dan politik kepentingan. Sayangnya, idealisme demokrasi ini gagal menjadi sebuah kenyataan. Jejak demokrasi Indonesia hari ini semakin parah dalam prosesnya. Politik identitas dan manuver politik uang selalu mendominasi, masuk dalam berbagai kalangan bahkan tidak sanggup terbendung.
Para elite politik yang seharusnya memberikan edukasi berpolitik santun, menanggalkan etika politik yang berbasis pada demokrasi yang sesungguhnya, menepuk dada bak pahlawan agar menarik simpati karena ada kepentingan. Indonesia sebagai negara demokrasi menjadi tercoreng karena orang terlalu jauh masuk dalam politik dengan berkendaraan agama. Agama yang adalah ruang privasi dalam etika politik, diborgol masuk dalam ranah politik untuk memenangkan kepentingan dengan argument suci serta dipakai untuk mengintimidasi secara halus.
Politik Identitas
Michael Foucault, filsuf Perancis, telah memberi warning penting bahwa kekuasaan terbesar bercokol dalam wacana. Bahasa dan wacana dapat membentuk opini dan menguasai orang bahkan hingga menjadi sangat radikal dan frontal. Wacana yang digunakan untuk membentuk opini masyarakat saat ini sangat masif dilakukan. Ternyata hal ini sangat berhasil menjadi senjata yang ampuh untuk menguasai orang lain. Kenyataan bahwa di Indonesia, wacana dalam berpolitik dipakai sebagai ujung tombak untuk mengkonstrusikan cara berpikir dan menginternalisasinya sebagai sebuah keyakinan akan kebenaran. Apalagi wacana politik yang syarat dengan kepentingan dipakaikan baju agama, suku, golongan dan identitas kelompok.
Gambaran nuansa politik nasional hari ini juga tercermin di Kabupaten Sumba Barat Daya. Wacana politik identitas terkonfirmasi menjadi alat kekuasaan terbaik untuk mempengaruhi masyarakat saat ini. Apalagi masyarakat Sumba Barat Daya masih sangat kental terikat dengan budaya, suku, dan keyakinan. Struktur masyarakat dengan kondisi seperti ini akan sangat rentan dipengaruhi dengan menggunakan wacana yang mengubah opini mereka tentang figure politik tertentu.
Wacana politik identitas telah memecah belah dan mengeliminasi pesta demokrasi yang disokong money politic. Praktek politik uang akan tidak saja berwajah aktivitas membagi-bagikan uang pada pemilih, tetapi juga pada aktivitas perjudian politik. Judi politik adalah tempat bertenggernya segala kejahatan politik dalam berdemokrasi. Mengapa? Karena judi politik memuat ketakutan akan kekalahan yang berujung pada kehilangan taruhan, sehingga orang bisa saja menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Sebut saja intimidasi pada pemilih yang berbasis SDM rendah, penyebaran secara masif wacana provokatif yang bisa menyebabkan kriminalitas dan diskriminasi.
Praktik semacam ini pada masyarakat marginal dapat terinternalisasi menjadi sebuah prinsip kebenaran dan jati diri yang patut diperjuangkan apapun resikonya. Padahal bisa saja yang diperjuangkan adalah sebuah kesalahan yang teroganisir. Bahwa membela pilihan adalah sebuah hak yang tidak dipaksakan oleh siapapun, tetapi membela pilihan politik dengan cara membenci pemilih lain yang bukan menjadi bagiannya, adalah sebuah kesalahan. Apalagi membela dengan cara-cara kotor yang dapat menyebabkan perpecahan, chaos, bahkan sampai pada pertumpahan darah dan kematian atau tindakan hukum. Semua ini bisa terjadi Ketika kita berpolitik berdasarkan kekuatan wacana, uang, dan perjudian.
Apa Yang Kita Benahi?
Kita mestinya sadar bahwa ada ruang kosong dalam berdemokrasi. Ruang kosong ini adalah ruang di mana ditempati oleh orang muda. Di satu pihak orang muda akan bertepuk dada dan berlindung pada jargon “pemuda adalah tulang punggung bangsa dan negara”. Tetapi tidak sedikit orang muda yang terjun dalam politik yang membutakan mata dan hati. Orang muda yang berpendidikan baik, ternyata ditemukan menjadi orator untuk penyebaran wacana dengan masif dalam masyarakat yang berujung pada praktek politik kotor. Orang muda mengalami kekosongan identitas. Sebab, tidak maksimalnya sebuah pendidikan berpolitik yang benar dan berkeadilan. Gairah orang muda dalam berpolitik tidak diarahkan dan dipandu ke jalan dimana demokrasi menemukan dirinya sebagai sebuah perayaan yang bermartabat dalam berpolitik.
Oleh karena itu, penulis menegaskan bahwa pendidikan kaum muda dalam berpolitik adalah salah satu cara terbaik mengisi kekosongan ruang demokrasi kita. Sekolah-sekolah demokrasi digalakkan mulai dari tingkat kampung, desa, kecamatan dan seterusnya. Orang muda patut giat melebarkan sayap berjejaring bersama penyelenggara Pemilu yang dipercayai sebagai lembaga independen pada tingkatannya. Termasuk lembaga-lembaga swasta (LSM/NGO) yang mengarusutamakan entitas demokrasi.
Diskusi-diskusi politik yang bermartabat perlu dibuat secara terbuka yang melibatkan lebih banyak kaum muda, agar sanggup mengasah dan membentuk generasi yang santun dalam berpolitik. Santun berpolitik mulai dari cara mengasah pikiran dalam menganalisa wacana, cara mendidik diri untuk menggunaka kosa kata yang berkualitas dan memiliki porsi politik cerdas, serta cara mengambil sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi persatuan dengan teguh menghargai perbedaan sebagai sebuah dinamika yang harmonis dalam bernegara. **(Penulis adalah Direktur Penguatan Demokrasi dan HAM, aktivis kemanusiaan tinggal di Sumba Barat Daya).-