Salah satu keluhan yang dilontarkan oleh para pendidik (guru dan dosen) adalah peserta didik (siswa dan mahasiswa) sulit memahami materi pelajaran atau konsep-konsep ilmiah yang mereka peroleh melalui kegiatan menyimak dan membaca. Demikian pula, peserta didik sulit untuk mengungkapkan isi pikiran mereka secara sistematis, logis dan benar melalui kegiatan berbicara dan menulis. Sebagian peserta didik mengalami kesulitan untuk memahami isi buku, seperti buku mata pelajaran, buku referensi perkuliahan, jurnal, opini atau berbagai jenis karya tulis ilmiah lainnya. Kesulitan serupa dialami oleh peserta didik ketika mereka mengomunikasikan suatu gagasan ilmiah melalui kegiatan berbicara dan menulis. Kesulitan-kesulitan ini sebenarnya tidak perlu terjadi karena sejak kecil peserta didik sudah mengenal bahasa Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, dan tentu semestinya sudah dianggap bisa berbahasa Indonesia. Pertanyaanya, mengapa peserta didik sulit memahami suatu gagasan ilmiah yang mereka simak dan baca serta sulit untuk memproduksi dan mengungkapkan gagasan atau ide melalui kegiatan berbicara dan menulis?
Bahasa sebagai Sarana Berpikir
Kegiatan akal budi yang pertama adalah menangkap ‘sesuatu atau objek’ sebagaimana adanya. Pengetahuan akal budi inilah yang disebut pengertian. Dengan demikian, mengerti berarti menangkap inti sesuatu. Dalam berpikir, seseorang mesti menggunakan term (kata) tertentu yang disebut pengertian atau konsep. Apabila apa yang dipikirkan itu hendak diberitahukan kepada orang lain, maka isi pikiran itu harus diungkapkan dalam bentuk kata-kata (bahasa). Di sinilah letak hubungan antara bahasa dan berpikir. Bahasa merupakan sarana berpikir dan sekaligus sarana untuk mengomunikasikan pikiran. Tanpa kemampuan berbahasa, seseorang akan sulit berpikir secara sistematis dan logis. Menurut Brunner, bahasa dan pikiran sebenarnya saling bekerja sama karena dengan bahasa orang dapat berpikir sistematis (Restoeningroem, 2019). Tanpa kemampuan berbahasa, seseorang tidak mungkin mampu berpikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara maksimal. Bahasa bukan hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sarana belajar dan sarana mengembangkan kemampuan berpikir. Dalam konteks berpikir ilmiah, bahasa merupakan sarana berpikir ilmiah untuk memperoleh pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah. Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah memungkinkan siapa pun, termasuk peserta didik untuk melakukan penelaahan ilmiah dengan baik, teratur dan cermat. Berpikir sebagai proses bekerjanya akal dalam menelaah sesuatu merupakan ciri hakiki manusia. Hasil berpikir dinyatakan dalam bentuk bahasa. Filosof seperti Mueller berpandangan bahwa bahasa dan pikiran tidak dapat dipisahkan. Manusia tidak mungkin berpikir tanpa bahasa (Dardjowidjojo, 2012). Menurut Sapir-Whorf (Restoeningroem, 2019), struktur bahasa menentukan struktur pikiran. Kemampuan berpikir berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa dan sebaliknya kemampuan berbahasa berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Seseorang yang rendah kemampuan berpikirnya akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang baik, logis dan sistematis. Dengan kata lain, proses berpikir manusia tidak dapat dilepaskan dari bahasa yang dikuasainya karena manusia berpikir melalui simbol-simbol bahasa.
Dampak Rendahnya Keterampilan Berbahasa
Kesulitan untuk memahami materi pelajaran atau konsep-konsep ilmiah yang diperoleh melalui kegiatan menyimak dan membaca serta kesulitan untuk mengungkapkan isi pikiran secara sistematis, logis dan benar melalui kegiatan berbicara dan menulis yang dialami oleh peserta didik merupakan akibat dari rendahnya keterampilan berbahasa Indonesia. Rendahnya keterampilan berbahasa Indonesia membuat peserta didik sulit untuk memahami bahasa ilmu pengetahuan, sulit memproduksi gagasan ilmiah serta sulit untuk mengungkapkan gagasan ilmiah melalui kegiatan berbicara dan menulis. Peserta didik yang kurang memahami kaidah kebahasaan dan kurang menguasai kosakata ilmiah atau hanya menguasai sejumlah kosakata yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari akan sulit memahami materi pelajaran dan karya tulis ilmiah lainnya yang dirumuskan dengan menggunakan kosakata baku dan kosakata ilmiah yang tidak dipahaminya. Peserta didik yang hanya menguasai 500 kosakata misalnya, tidak mungkin memahami isi buku atau karya tulis ilmiah yang terdiri atas 5000 kosakata ilmiah. Peserta didik yang kurang memahami unsur-unsur kalimat dan struktur kalimat akan sulit memahami konsep-konsep ilmiah yang dirumuskan dengan menggunakan struktur kalimat yang lebih rumit seperti kalimat majemuk dan kalimat majemuk kompleks. Pada umumnya, suatu pikiran atau gagasan yang kompleks (rumit) dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula. Suatu kalimat yang kompleks umumnya mengungkapkan suatu pikiran yang kompleks pula. Dengan perkataan lain, peserta didik akan mengalami hambatan untuk memahami materi pelajaran atau konsep-konsep ilmiah dengan level bahasa di atas level yang mereka kuasai.
Kemampuan menyerap gagasan dan pengetahuan yang kompleks dan konseptual memerlukan kemampuan berbahasa dan penguasaan kosakata pada tingkat yang memadai. Demikian pula, peserta didik yang kurang memiliki kemampuan berbahasa dan kurang menguasai kosakata akan mengalami kesulitan untuk mengomunikasikan isi pikirannya (lisan dan tulis) secara terstruktur dan logis. Berpangkal dari alur berpikir seperti ini, maka salah satu alasan yang bisa menjelaskan persoalan yang dikeluhkan oleh para pendidik adalah rendahnya keterampilan berbahasa. Masalahnya adalah bahwa sebuah karya tulis ilmiah, di satu sisi mengungkapkan sesuatu yang kompleks (rumit) dan konseptual yang memerlukan struktur bahasa dan kosakata yang canggih serta ditulis dalam bahasa yang sangat memadai dan baku, tetapi di sisi lain peserta didik menggunakan struktur bahasa alamiahnya (bahasa yang diperoleh) untuk memahami karya tulis ilmiah tersebut. Dengan perkataan lain, karya tulis ilmiah dengan tingkat bahasa yang tinggi dibaca oleh peserta didik dengan kemampuan bahasa pada tingkat rendah. Karya tulis ilmiah dengan tingkat bahasa standar yang tinggi dibaca oleh peserta didik dengan tingkat bahasa pergaulan umum. Akibatnya, peserta didik dan mungkin sebagian masyarakat pembaca menuduh bahwa suatu karya tulis ilmiah (buku) sulit dipahami, padahal sebenarnya orang tidak mempunyai kemampuan bahasa dan daya nalar yang memadai untuk memahami karya tulis ilmiah (buku) tersebut. Karya tulis ilmiah menuntut kecermatan dalam penalaran dan bahasa. Dalam hal bahasa, karya tulis ilmiah harus memenuhi ragam bahasa standar (formal), bukan bahasa informal atau bahasa pergaulan. Pemenuhan kaidah kebahasaan, yang mencakup struktur kalimat, diksi, perangkat peristilahan, ejaan dan tanda baca merupakan ciri utama dari bahasa keilmuan. Dengan demikian, apabila bahasa sebagai sarana berpikir dan sarana mengungkapkan pikiran kurang atau tidak memadai, peserta didik dan siapa pun akan sulit untuk memahami materi pelajaran atau konsep-konsep ilmiah serta sulit pula untuk memproduksi dan mengungkapkan gagasan secara benar, logis dan sistematis.
Menumbuhkan Kecintaan Membaca dan Menulis
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Bahasa Indonesia dikatakan sebagai bahasa pengantar resmi bukan hanya dalam konteks komunikasi atau pergaulan biasa, melainkan bahasa resmi untuk mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik tidak mungkin memahami pengetahuan yang ditransfer dengan menggunakan bahasa ilmu pengetahuan dan logika bahasa yang kurang dipahaminya. Dalam upaya mengatasi rendahnya keterampilan berbahasa Indonesia, Taufiq Ismail mengusulkan dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, kecintaan membaca buku. Membaca merupakan kunci untuk mempelajari segala ilmu pengetahuan, termasuk informasi dan petunjuk sehari-hari yang berdampak besar bagi kehidupan. Kegiatan membaca dengan sendirinya akan menambah kosakata, pengertian-pengertian dan pemahaman penggunaan kata dalam struktur kalimat yang baik dan benar. Kegiatan membaca akan memberikan pengetahuan kepada pembaca dan sekaligus menambah perbendaharaan kosakata. Penguasaan kosakata yang memadai akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan memahami isi dari suatu bacaan (Widyasari, 2017). Dengan bertambahnya kosakata, seseorang tidak akan kesulitan dalam mengungkapkan pikirannya (Mubarok, 2018). Seseorang harus memiliki kosakata yang cukup untuk bisa memahami apa yang dibaca dan didengar serta terampil berbicara dan menulis dengan kata yang tepat sehingga dipahami oleh orang lain.
Kedua, kemampuan menulis. Dalam kegiatan menulis, seseorang harus memahami struktur dan unsur kebahasaan, menguasai kosakata, memiliki kemampuan untuk menata dan mengorganisasikan ide secara runtut dan logis, serta menyajikan dalam ragam bahasa tulis sesuai kaidah penulisan yang berlaku (Pratiwi, 2018). Makin banyak kosakata yang dikuasai makin banyak ide atau gagasan yang akan disampaikan. Dengan menulis, otak seseorang akan terasah sehingga menjadi tajam dan kritis serta ilmu pengetahuannya semakin bertambah karena orang yang menulis pasti membaca. Kegiatan membaca berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Semakin orang banyak membaca, semakin luas wawasan dan pengetahuannya sehingga ia memiliki cukup referensi (rujukan) dan ia tidak akan kehabisan ide untuk menulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara minat baca dengan kemampuan menulis karya tulis ilmiah mahasiswa sangat tinggi. Artinya, semakin baik atau semakin tinggi minat baca mahasiswa, maka semakin baik pula kemampuan menulis karya tulis ilmiahnya (Mansyur, 2018). Dengan demikian, kegiatan membaca dan menulis merupakan dua kegiatan yang saling menopang.
Pendidik Menjadi Model Literasi
Keluhan yang dilontarkan oleh para pendidik (guru dan dosen) terkait dengan rendahnya pemahaman peserta didik akan isi pikiran orang (karya tulis ilmiah) dan sulit untuk mengomunikasikan pikiran ilmiah akan tetap terdengar jika pendidik tidak menjadi model literasi. Dalam konteks ini, menjadi model literasi berarti pendidik memiliki kecintaan membaca dan menulis sehingga menjadi rujukan bagi peserta didik dalam mengembangkan keterampilan berbahasa Indonesia. Para pendidik perlu memacu diri untuk membaca dan menulis agar mereka dapat menjadi model literasi bagi para peserta didik. Pembelajaran dan pelatihan kebahasaan yang berkesinambungan pada semua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi harus dilakukan untuk membangkitkan kecintaan membaca buku dan kemampuan menulis pada diri peserta didik. Di tangan pendidik yang terampil berbahasa, peserta didik kita akan memiliki keterampilan berbahasa.
Pengetahuan tata bahasa dan penguasaan kosakata yang memadai menjadi modal utama bagi peserta didik untuk memahami konsep-konsep ilmiah yang diperoleh melalui kegiatan menyimak dan membaca serta mampu memproduksi dan mengomunikasikan gagasan atau ide ilmiah melalui kegiatan berbicara dan menulis. Peserta didik yang memiliki dua kemampuan ini akan memiliki kecintaan dan kebiasaan membaca. Peserta didik yang memiliki kecintaan dan kebiasaan membaca akan memiliki pengetahuan yang luas dan alam pikiran yang luas pula. Pengetahuan yang luas dan mendalam menjadi referensi bagi para peserta didik untuk menulis dan mereka tidak akan kehabisan ide untuk menulis. Sebaliknya, peserta didik yang kemampuan berbahasanya terbatas akan terbatas pula pengetahuan dan sempit pula alam pikirannya, sebagaimana yang pernyataan masyhur Wittgeinstein: “Batas bahasaku berarti batas duniaku”. Oleh karena itu, apabila pendidik ingin peserta didik bernalar tanpa batas, maka melatih keterampilan berbahasa Indonesia pada semua jenjang pendidikan merupakan tindakan yang mutlak dilakukan untuk melatih ketajaman dan keluasan berpikir. Peserta didik tidak dapat bernalar atau berpikir tanpa bahasa. Apabila peserta didik terampil berbahasa Indonesia, khususnya menguasai kaidah kebahasaan yang antara lain mencakup struktur kalimat, diksi, perangkat peristilahan, ejaan dan tanda baca, maka peserta didik akan mudah mengerti materi pelajaran atau konsep-konsep ilmiah yang mereka peroleh melalui kegiatan menyimak dan membaca serta mampu memproduksi dan mengungkapkan isi pikiran secara sistematis, logis dan benar melalui kegiatan berbicara dan menulis. *** (P. Silvester Nusa, CSsR, M.A, adalah dosen Universitas Katolik Weetebula).-