BERJALAN BERSAMA MENUJU MASA DEPAN TANPA BAJUAL SESAMA

Suarajarmas.com – Provinsi NTT pada 3 tahun terakhir ini  memiliki kasus tertinggi 280 kasus perdagangan orang dan diantaranya meninggal dunia. Dapat diprediksi bahwa kasus perdagangan orang di NTT secara umum dipicu oleh faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi,  pesta adat istiadat yang menelan cukup banyak material,  rendahnya SDM dan sistem kejahatan yang terorganisir dan sistematis yang dimiliki oleh sebagian penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).

Tuntutan kebutuhan yang banyak tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang memadai,  hal ini yang membuat para Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) mudah mendapatkan bujuk rayu dari para perekrut agen tenaga kerja dengan iming-iming gaji besar dan hidup enak.

Bujuk rayu ini juga diperkuat dengan orang tua dan atau suami yang memberikan restu kepada anak dan istri untuk dapat bekerja di luar negeri dengan harapan mendapatkan uang agar dapat menyelesaikan seluruh hutang piutang yang sudah dilakukan oleh keluarga dan orang tua.

Proses pemberangkatan CPMI 75% dilakukan tidak melalui prosedur dokumen penting misalnya KTP dapat dipalsukan,  surat izin orang tua atau suami dapat dipindahkan dari satu desa ke desa lainnya,  seluruh proses dokumen difasilitasi oleh keluarga atau agen penyalur tenaga kerja. Bujuk rayu juga dirasakan oleh orang tua,  suami dengan diberikannya imbalan uang sirih pinang sebagai jaminan anaknya bekerja dengan tanggungan penyalur dan dijamin aman.

Korban perdagangan orang di NTT pada umumnya adalah perempuan dan anak perempuan yang merupakan kelompok rentan (di bawah umur) dan mereka menjadi tulang punggung keluarga sehingga tidak dapat mengelak permintaan orang tua atau keluarga untuk bekerja di luar pulau.

Mendasari hal tersebut di atas Yayasan VIVAT Indonesia dan Yayasan Pengembangan Kemanusiaan (YPK) Donders yang bergabung dalam koalisi Zero Human Trafficking Networking  (ZHTW) menyelenggarakan kegiatan workshop selama 3 hari (9-11 Maret 2023) dengan tema Berjalan Bersama Menuju Masa Depan Tanpa Bajual Sesama.

Ketua panitia penyelenggara Sr. Genobeba Dc Amaral, SSpS., yang ditemui media ini di sela-sela kegiatan mengatakan situasi yang dihadapi oleh NTT saat ini sudah sangat urgen. Kasus perdagangan orang di NTT yaitu TTS, TTU, Larantuka,  Kupang dan Sumba di tahun 2022 telah menelan korban 150 manusia yang meregang nyawa di negara orang.

Baca Juga :   CAPAIAN PEMDA SBD DI MASA-MASA KRISIS
Ketua panitia penyelenggara, Sr. Genobeba Dc Amaral, SSpS

“Mereka adalah korban atas kelalaian keluarga, lingkungan sosial,  masyarakat,  tokoh adat,  tokoh agama dan Negara.  Unsur-unsur yang mestinya menjadi pilar perlindungan bagi warga negara khususnya CPMI dan PMI belum merasakan. Ini merupakan darurat dan genting untuk menghentikan perdagangan orang di Sumba” ungkapnya.

Suster Genobeba menambahkan dipilihnya Sumba menjadi tempat workshop karena Sumba menjadi daerah yang paling banyak kasus perdagangan orang. Hal ini disebabkan oleh relasi sosial juga karena tekanan ekonomi.

Suster Genodeba menjelaskan terkait dengan relasi sosial, sekalipun korban merasa tidak nyaman untuk pergi, tetapi karena ada relasi kuasa dari keluarga atau orang-orang yang berkuasa dalam keluarga memaksa mereka untuk sekalipun itu penuh dengan resiko.

Dirinya berharap melalui workshop ini dapat membangun jejaring yang kuat dengan pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, lembaga-lembaga kemanusiaan yang punya kepedulian pada isu perdagangan orang.

“Kita berharap dapat bersama-sama bekerja untuk memberantas isu perdagangan orang di Sumba khususnya dan NTT pada umumnya. Kasus perdagangan orang saat ini sangat urgen dan harus kita  hentikan bersama-sama” pungkasnya.

Untuk diketehui kegiatan workshop ini dibuka oleh Sekda SBD, Fransiskus M. Adilalo, S.Sos., dan dihadiri oleh Pasi Intel Kodim 1629/SBD, Lettu Yohanes Herard Keni, P. Agustinus Duka, SVD., Camat Kodi, Emanuel Kenduwela, S.Sos.,  beberapa Kepala Desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM dan tamu undangan lainnya. *** (Octa/002-23).-