Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini.
Data Prevalensi balita stunting World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara. Di Indonesia, stunting merupakan masalah serius dan juga merupakan masalah gizi utama yang sedang dihadapi.
Stunting pada anak balita merupakan konsekuensi dari beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan kemiskinan, gizi, kesehatan, sanitasi dan lingkungan. Berdasarkan beberapa penelitian di atas tersebut, kejadian stunting yang terjadi ada hubungan dengan Pengetahuan, riwayat Asi Eksklusif, Faktor ekonomi keluarga, dan Sanitasi Lingkungan.
Prevalensi balita stunting di dunia berdasarkan data WHO tahun 2016 sebesar 22,9%. Di wilayah Asia Tenggara prevalensi balita stunting mencapai 33,8%. Prevalensi balita stunting di Indonesia masih fluktuatif sejak tahun 2007-2017. Prevalensi balita stunting di Indonesia pada tahun 2007 adalah 36,8%, tahun 2010 sebesar 35,6%, tahun 2013 sebesar 37,2%, dan tahun 2017 sebesar 29,6%; tahun 2018 sebesar 30,8%, tahun 2019 sebesar 26,67%. (Izwardy, 2020). Prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia berada di propinsi NTT dengan 51,3 persen di tahun 2013 dan 42.6 persen di tahun 2018 (Riskesdas, 2018).
Terjadinya peningkatan kasus stunting diakibatkan karena masih ada ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif disebabkan oleh pemahaman ibu yang apabila anak menangis berarti anak masih lapar dan masih kurang cukup jika diberikan ASI saja, jadi anak diberikan makanan tambahan dimulai dari usia 3 atau 4 bulan.
Puskesmas sudah melakukan beberapa kegiatan atau tindakan pencegahan stunting diantaranya ibu hamil wajib menjalani pemeriksaan prenatal (ANC), pemantauan status gizi ibu hamil, pemantauan pemberian ASI eksklusif, dan pemantauan sanitasi lingkungan yang dibantu perangkat desa setempat, serta pemberian edukasi dengan menggunakan leaflet, poster dan gambar-gambar kesehatan bagi ibu hamil dan ibu yang memiliki anak Balita stunting. Bagi Balita yang telah didiagnosa stunting, petugas Puskesmas memberikan makanan tambahan (PMT) dan dilakukan pemantauan untuk menghindari dampak jangka panjang stunting dengan di bantu kader.
Pencegahan stunting pada anak dapat dilakukan oleh setiap keluarga contohnya keluarga sering membawa balita untuk melakukan penimbangan berat badan secara teratur, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, konsumsi berbagai makanan bergizi, garam beryodium, dan pemberian suplemen gizi sesuai anjuran petugas kesehatan. Selain itu mengkonsumsi kapsul vitamin A, tablet FE, makanan tambahan bagi ibu hamil, balita dan anak usia sekolah, makanan pendamping ASI, serta multi vitamin dan mineral. *** (Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keperawatan UNAIR).-