Tambolaka-SJ……. Uskup Weetebula yang mulia Bapak Edmund Woga, CSsR membuka kegiatan Seminar Pendidikan Anti Kekerasan Terhadap Anak di Balai Pertemuan Gereja Katedral Weetebula Kecamatan Tambolaka Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) Sabtu (29-02-2020). Seminar Pendidikan ini diselenggarakan oleh KOMDIK Keuskupan Weetebula dan didukung oleh STKIP Weetebula.
Hujan lebat yang mengguyur daerah Weetebula tidak bukan menjadi halangan terselenggaranya seminar pendidikan Anti Kekerasan Terhadap Anak ini, dimana kurang lebih 500 orang yang terdiri atas peserta, tamu undangan dan panitia sangat serius mendengarkan pemaparan para pemateri-pemateri handal. Tampil sebagai pemateri dalam Seminar ini Drs. Budi Sarwono, MA, P. Paulus Dwiyaminarta, CSsR, SH dan tim Save the Children yang dipandu oleh Moderator P. Dony Kleden, CSsR. MA.
Dalam sambutannya Uskup Weetebula Edmund Woga, CSsR menjelaskan peran Gereja baik Protestan maupun Katolik sangat besar bagi pendidikan di Pulau Sumba. Ada bukti bahwa Gereja memberikan penekanan pendidikan pada masyarakatnya.
“Gereja Protestanlah yang pertama datang ke Sumba, Pendidikan menjadi sarana pewartaan khabar gembira bukan khabar sedih atau menangis” ungkap Uskup Weetebula.
Dalam kesempatan itu Uskup Weetebula berharap agar para guru menjadi tokoh umat ditengah masyarakat.
“Semua orang yang dibaptis mempunyai tugas untuk mewartakan khabar gembira, para gurupun diharapkan demikian. Bagaimana anak didik kita bisa gembira jika kita mendidiknya dengan kekerasan ?” tutur Uskup.
Lebih lanjut Uskup Edmund Woga menjelaskan untuk menghindari kekerasan dalam pendidikan dan pengajaran, harusnya kita sadar dan bertolak pada Injil sebagai khabar gembira.
“Saya berbahagia karena kita dapat bertemu untuk berbicara bersama. Saya bangga karena banyak peserta, harapannya hasil pertemuan ini tidak disimpan untuk diri sendiri melainkan membagikannya untuk saudara kita yang juga berkecimpung didunia pendidikan” pungkasnya.
Adapun yanjg menjadi peserta dalam seminar ini adalah guru-guru agama Katolik dari 4 kabupaten Pulau Sumba, Mahasiswa dan Dosen STKIP (6 prodi), praktisi.pendidikan, biarawan/wati dan pengelola sekolah.
Dipantau oleh media ini peserta sangat antusias mengikuti seminar ini, karena pendidikan yang keras pada anak merupakan hal yang menjadi kebiasaan di Pulau Sumba. Karakter anak-anak didik orang Sumba sangat beragam, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi pendidik didalam mendidiknya.
Seperti yang ditanyakan oleh salah satu peserta yang merupakan guru di SBD, Imelda Ate masalah ketidak tahuan orang tua (masyarakat) tentang hukum yang mengatur anti kekerasan terhadap anak, sehingga kekerasan bisa dihindari. Dirinya berharap agar seminar pendidikan anti kekerasan terhadap anak juga diselenggarakan untuk masyarakat atau orang tua murid.
“Sumba kalau mau baik, pendidikan terhadap anak harus dimulai dari orang tua/masyarakat, sedangkan pendidikan di sekolah untuk melengkapi dalam pembinaan anak didik yang berpengetahuan dan bermoral baik” ujar Imelda Ate.
Ketua Panitia penyelenggara Rm. Mikael Sene Pr., yang ditemui media disela-sela kegiatan mengatakan kegiatan ini diselenggarakan berdasarkan pengalaman yang ada bahwa pendekatan pendidikan di Sumba lebih banyak menggunakan kekerasan verbal.
“Dulu ada tenaga volunteer dari Jerman yang membantu di Anda Luri, selama mereka berada disana mereka menemukan bahwa pendidikan disana lebih banyak menggunakan kekerasan verbal, sehingga waktu Bapak Uskup berkunjung ke Jerman mereka sampaikan hasil pengamatan mereka tersebut. Lalu akhirnya bapak Uskup minta saya untuk buat proposal untuk membuat sosiaslisai atau pencerahan dan memberikan pemahaman kepada guru bahwa pendekatan pendidikan yang ideal itu seperti apa, tanpa menggunakan kekerasan” ungkapnya.
Romo Mikael berharap agar kedepan kita menggunakan perspektif yang baru dalam pendekatan pembelajaran dengan menghindari penggunaan kekerasan secara verbal apalagi secara fisik terhadap anak didik.
Dirinya juga menyadari bahwa kegiatan yang sangat penting ini seharusnya bukan hanya satu hari saja digelar, tetapi ini adalah lillin kecil yang dinyalakan, semoga peserta pada hari ini walaupun dapatnya sedikit tetapi jika dikonsolidasikan dan mempunya komitmen bersama agar dapat menjadi awal yang baik untuk merubah paradigm para guru dalam mendidik muridnya.
“Kita harus mulai dari diri kita sendiri dulu sebagi pendidik, walaupun kegiatan ini Cuma 1 hari, harapan saya kita sudah mempunyai pemahaman, paling kurang prinsip-prinsip dasarnya, yang terpenting disini soal kemauan dulu untuk keluar dari masa lalu kita sendiri untuk merubah paradigma mendidik anak-anak di Sumba harus dengan kekerasan. Dan kita juga bisa menyulut ke banyak orang sehingga bisa menjadi lilin yang besar” tutupnya. *****
Liputan: Octa Dapa Talu,-