PERPOLITIKAN SUMBA TIMUR ANTARA PROBLEMIKA DAN SOLUSI

Alexander Ade Umbu Pekuali

Kabupaten Sumba Timur di tahun 2020 ini memasuki pesta demokrasi PILKADA, tentu ini merupakan sebuah momentum dimana akan melahirkan sosok pemimpin yang harus bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah ditetapkan. Sebagai sosok pemimpin yang baik dan bertanggung jawab, dia yang merupakan pilihan rakyat dipercayakan dan diberikan amanat oleh rakyat dalam lima tahun memimpin, harus mampu membangun daerah dilingkup kekuasaannya dalam hal ini sumba Timur kedepannya.

Sejak dulu, kita melihat dari Timur ke Barat, Selatan ke Utara dalam perkembangan hidup politik manusia dimuka bumi ini, tidak terlepas dari fenomena Demokrasi, dimana ada manusia yang berkuasa dan yang dikuasai, mayoritas-minoritas tunggal, majemuk, elit-nonelit. Semua berangkat dari manusia sebagai mahkluk yang plural, mempunyai keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Tentu itu semua akan mengarah pada “kekuasaan”.

Banyak kepala daerah saat ini menampilkan wajah kepemimpinan yang lemah dan tidak menampilkan prestasi yang brilian. Jelas sekali bahwa mereka tidak mampu membawa perubahan yang signifikan dalam rangka kemajuan bersama rakyat.

Ini menjadi pelajaran berharga bahwa politik lokal Sumba Timur tidak hanya dilihat dari satu perspektif, tetapi hal tersebut seharusnya dilihat dari berbagai perspektif, dalam perspektif sosiologi bahwa didalam berpolitik ada yang namanya “habitus” dimana pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh sosiologi Prancis Pierre Bourdieu (1979) secara sederhana habitus adalah struktur kognitif atau sesuatu yang di batinkan yang menghubungkan seorang individu dengan realitas dan lingkungan sosialnya. Artinya kalau kita menerjemahkan bahasa Pierre dalam konteks kepemimpinan di Sumba Timur, maka bagi saya ini ada hubunganya dengan kondisi sosial politik kekinian. Karena kepala daerah yang bermunculan bertumpuk pada capital ekonomi dan capital politik, tetapi tidak di dukung habitus positif baik yang akan melahirkan sosok pemimpin atau kepala daerah yang lemah dan tidak berprestasi.

Baca Juga :   MENJELANG PILKADA SERENTAK 2018 DI SUMBA BARAT DAYA

Ini jelas menunjukan bahwa proses dinamika politik lokal yang belum stabil dan mempertahankan watak sentiment kelompok dan pragmatismenya. Oleh karena itu persoalan tersebut menjadi hajatan kita bersama untuk mereduksikan menjadi pijakan awal dimasa yang akan datang. Momentum PILKADA Sumba Timur harus lebih mementingkan rakyat secara bersama dan menyeluruh serta tidak terjebak dalam lingkaran egoisme meraih kekuasaan. Sehingga tercipta semangat demokrasi dalam konteks ini demokrasi lokal yang sehat dan sangat demokratis sesuai dengan harapan masyarakat Sumba Timur.

“Membangun Keadaan politik”

Politik adalah seni, jika kita bicara pragmatism maka dampaknya ke pembangunan, sector pendapatan dan hubungan masyarakat yang bisa berkepanjangan. Semoga kita semua terhindar dari pragmatisme politik yang tidak tercerahkan. Sebagaimana dalam meminjam istilah ayahanda Akbar Tanjung, adalah keadaban politik di mana menjadikan politik sebagai ruang untuk memberikan pencerahan dan peradaban penentu nasib daerah.

Jikalau kita tetap mempertahankan tradisi politik yang menyesatkan, maka kita juga bagian dari anak bangsa yang pelan-pelan ingin membangun tradisi politik pragmatism dan mendorong kembali politik pembodohan tanpa nilai.

Sebagai anak pribumi asli Sumba Timur, tentu kitalah yang menentukan nasib daerah. Sehingga sosok pemimpin lahir sebagai pencetus pembangunan dan kesejahterahan masyarakat Sumba Timur, Pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor parawisata, sektor pertanian dan sektor perikanan.***

Penulis: Alexander Ade Umbu Pekuali,-