Mari Kita Bangun “Tujuh Jembatan Emas”

Oleh: Fidelis K. Akosi ***

Kita harus Optimis bangun  “Tujuh Jembatan Emas” bersama Bupati terpilih. Kebijakan  ini  luar biasa, kita patut mengapresiasinya.  Hasrat  baru ini menjadi “sesuatu sekali” bagi masyarakat kabupaten Sumba Barat Daya.

Menghadirkan “tujuh jembatan emas”  di kabupaten  ini menjadi daya dorong terkuat untuk bangkit dari keterpurukan. Gagasan hebat ini bagai oase di tengah gersangnya padang savana. Oase ini sangat diperlukan karena itu merupakan  kerinduan terdepan, harapan terdalam, dari masyarakat   bersama bupati  baru.

Perlu Semangat Bersama

Bersama Bupati dan Wakil Bupati yang baru, kita sedang menerima tanggungjawab bersama untuk berjuang bangun “Tujuh Jembatan Emas” sebagai  karya bersama untuk Sumba Barat Daya yang lebih baik.

“Kami pasti berbuat yang terbaik untuk rakyat Sumba Barat Daya”, kata dr. Kornelius K. Mete, Bupati terpilih. Ini sebuah komitmen terbaik dan semangat dalam kesadaran baru yang sangat tinggi. Pernyataan semacam ini adalah perspektif pemimpin pintar yang mau supaya semua orang bekerja keras untuk membangun daerah. Sejatimya, persoalan yang sedang dihadapi kabupaten ini rumit dan itu butuh kebersamaan yang tidak berkotak-kotak. Kebersamaan yang utuh untuk melihat lebih positif terhadap potensi dari setiap orang dan percaya pada kekuatan manusia Sumba Barat Daya untuk  bekerja profesional di setiap lini. Mari kita bangkit, “bertempur “ untuk potensi dan persoalan-persoalan kita itu.

Hadirnya dua putra terbaik Sumba Barat Daya, dr. Kornelius K. Mete dan  Marthen Christian Taka, S.IP  menjadi Bupati dan Wakil Bupati periode  2019-2024 memberi rasa percaya diri untuk kabupaten ini. Menarik memang jika kita fokus melihat pada ketujuh poin jembatan emas itu. Itu rangkuman potensi juga persoalan yang riil yang sedang terjadi di kabupaten ini. Itu  salah satu aspek dari hebatnya seorang pemimpin yang tahu betul kegetiran yang dialami warganya.  Fakta inilah yang menjadi kekuatan baru untuk intervensi baru yang lebih pas dan berkelas.  Oleh karena itu, sepantasnya kita semua harus menggerakan seluruh kemampuan terbaik dari tiap-tiap kita untuk membangun tujuh jembatan emas di kabupaten ini secara bersama-sama  sebagai respon serius atas keterpurukan kondisi dari banyak aspek kehidupan bersama.

Baca Juga :   MENGHORMATI HIDUP

Bagaimana membangun  “Tujuh Jembatan Emas?”

Gambaran besar “Tujuh Jembatan Emas” sebagai prioritas pembangunan  di kabupaten ini tentu masih belum begitu jelas bagi kita yang lain. Akan tetapi kita telah mengetahui banyak tentang konsep besar dari ketujuhnya yakni: desa bercahaya, desa berair, desa berkecukupan pangan, desa sehat, desa cerdas, desa tentram dan desa wisata. Tujuh pilar ini menjadi arah kebijakan pembangunan kabupaten yang diprioritaskan  dalam program kerja bupati 2019-2024.

Melihat tujuh pilar ini, timbul pertanyaan, apa yang bisa kita buat dari ketujuhnya? Hemat penulis, membangun tujuh jembatan emas tidak saja membutuhkan anggaran besar tetapi juga semangat yang besar, kerja besar dari setiap kita, kekompakan besar dan komitmen besar. Bicara anggaran tentu kita tidak tahu pasti berapa dana yang akan digelontorkan untuk membangun tujuh jembatan emas ini.

Akan tetapi, pada sisi yang lain kita tidak perlu butuh dana. Desa cerdas bagi saya itu apa? Ketika kita punya waktu untuk membaca buku satu jam setiap hari saja, sebenarnya kita sedang mengarahkan desa cerdas di masa depan. Ketika kita membuang sampah pada tempatnya, ketika kita mengolah lahan pertanian secara organik, ketika kita melindungi mata air, tidak merusak perpipaan, tidak mencopot panel surya yang dipasang, ketika kita lebih prioritas mengolah lahan kebun sendiri ketimbang jalan malam untuk mencuri, itu sebenarnya kita sedang membangun kebiasaan baik tanpa dana untuk perubahan. Membangun tujuh jembatan emas itu, seutuhnya kita memperbaiki kebiasaan lama, fokus pada kekuatan nilai lokal yakni gotong royong. Jika itu terjadi, maka desa wisata dengan sendirinya terjadi di kabupaten ini.

Lebih jauh, penulis mencoba untuk mengutarakan beberapa gagasan kecil berkaitan dengan  “ketujuh jembatan emas” secara “ liar”.  Pertama, desa cerdas . Menggambarkan desa cerdas berarti manusia desa menjadi fokus. Untuk fokus ini kita tidak mungkin hanya mengandalkan pendidikan formal sebagai satu-satunya jalan. Kita perlu cara berbeda untuk mengkondisikan desa menjadi cerdas. Salah satu pilihan lain adalah kecerdasan luar sekolah . Tawaran bale belajar sebagai “klinik” literasi adalah cara. Bale belajar sebagai titik sentral untuk warga desa memperbaiki kecerdasan desa harus dimulai. Anak-anak didorong untuk membaca dan menulis di bale. Petani perlu ada penguatan kapasitas terkait pertanian di bale dengan sistem pertanian terbaru menyesuaikan kondisi lahan.

Baca Juga :   NEW NORMAL PENDIDIKAN (Jalan Menuju Merdeka Belajar)

Para kader diperkuat pengetahuannya di bale dan juga aparat desa memang perlu dilatih untuk siap berkerja untuk desa. Kemampuan-kemampuan ini perlu dipertajam di bale sebagai “klinik”, yang rusak diperbaiki, yang sakit pikirkan caranya. Cara berpikir warga desa perlu diobati di “klinik” literasi desa. Literasi desa perlu ada di bale dengan perpustakaan mumpuni yang dikelola desa secara tepat.

Kedua, desa berair . Sudah tahu bahwa hidup tanpa air pasti mati. Potensi air di kabupaten ini cukup ditambah suplai air tiap tahun yang dikasih sama langit. Hanya memang air dari langit yang kita sebut air hujan itu mengalir ke laut semuanya. Kondisi ini yang harus kita atasi. Sudah banyak cara untuk menjebak air hujan untuk masuk ke dalam tanah untuk disimpan tetapi cara cerdas itu belum maksimal dilakukan atau memang tidak serius mengurusnya. Semua yang kekurangan air tiap tahun adalah keluarga yang miskin cara, miskin strategi untuk menanpung air. Solusi terburuk adalah beli air.  Bagaimana desa bisa berair kalau  air dari desa, kita kasih mengalir ke laut.   

Ketiga, desa berkecukupan pangan . Kecukupan pangan sebenarnaya berbanding lurus dengan ketersediaan air di desa. Bagaimana pangan meningkat kalau kekeringan tahun pertama bertemu tahun berikutnya. Peningkatan ekonomi keluarga adalah jalan menuju ketahanan pangan desa. Jalan lainnya adalah investasi pengetahuan terkait pertanian, dan usaha ekonomi keluarga. Untuk menjadikan pangan keluarga cukup untuk setahun maka yang harus dilakukan adalah lahan produksi harus ditata rapi, menggunakan pupuk yang mempunyai nilai keberlanjutan, mempunyai hitungan ekonomis terkait untung rugi. Dan kemampuan untuk memanfaatkan semua peluang usaha dengan memaksimalkan koperasi kredit bukan uang bunga.

Baca Juga :   Pengendalian Hama Belalang di Sumba Mau tidak Mau harus Kimiawi

Keempat  desa sehat . Sanitasi menjadi titik cerdas menuju sehat. Gizi sebagai supalai nutrisi (kelor) adalah keharusan. Hanya yang makan makanan bergizi bernutrisi yang mempunya daya tahan tubuh yang kuat. Bangun sarana sanitasi diimbangi dengan perbaikan cara pandang untuk mengikis kebiasaan lama yang tidak benar. Perilaku hidup harus dirubah untuk menjaga kesehatan bersama. Bangun kebiasaan sehat mulai dari keluarga masing-masing dengan cara tertip sampah. Fasilitasi Penataan  kampung (pagar, kandang, tempat sampah kampung dan keranjang sampah keluarga).

Kelima, desa tentram.  Aparat desa, RT/RW harus mampu identifikasi warga yang pencuri, dan perampok. Pemberdayaan bagi kelompok ini (wirausaha, dan pertaniaan, menyesuaikan bakat dan kemapuan mereka).  

Keenam, desa wisata . Perlu penataan budaya, kampung adat, cerita rakyat dan semua kebiasaan dan nilai lokal didokumentasikan pada setiap desa destinasi wisata. Dokumentasi dalam bentuk buku, foto dan yang lainnya agar keberadaan desa destinasi wisata tergambar dan terukur.  

Ketujuh, desa bercahaya . Berharap saja pada PLN untuk menjadikan Sumba Barat Daya bercahaya mungkin butuh waktu. Tetapi PLTS komunal bisa menjadi solusi terdepan dan tercepat untuk menjadikan SBD bercahaya. Pada kesempatan ini, penulis mengajak semua pembaca sekalian untuk luangkan waktu datang ke kampung Tanah Kandumuk, di desa Homba Karipit, di sana ada kampung bercahaya karena PLTS komunal dioptimalkan.

Bangun tujuh jembatan emas membutuhkan keberanian, kekompakan dari setiap kita untuk berbuat sesuatu yang baik bagi kabupaten ini. Katakana tidak untuk malas membaca, agar kita wujudkan desa cerdas. Katakan tidak untuk bakar hutan dan menebang pohon, agar kita wujudkan desa berair. Katakan tidak untuk hidup boros dan malas bekerja untuk mengoptimalkan lahan dan potensi yang ada agar kita mewujudkan desa berkecukupan pangan. Katakan ya untuk hidup dalam lima pilar STBM maka kita mudah mewujudkan desa sehat. Katakan ya untuk tidak mencuri, dan merampok, maka kita bisa menciptakan kondisi desa tentram. Katakan ya untuk memaksimalkan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Sosial (SDS) dan Sumber Daya Budaya (SDB)  maka kita pastikan desa wisata akan nyata di Sumba. Dan mari kita maksimalkan PLTS komunal, kita wujudkan kampung bercahaya. Kita bangun “Tujuh Jembatan Emas” untuk generasi emas. Mari kita bermimpi tinggi.**

***(Penulis adalah Pegiat Sosial di Sumba)