Melawan Lupa: Tolak Tambang Minerba di Pulau Sumba

Waingapu-SJ………… Belakangan ini isu lingkungan di Indonesia menjadi satu persoalan kemanusiaan yang mengemuka. Pengrusakan lingkungan oleh korporasi tambang dan perkebunan monukultur terutama di wilayah Indonesia Timur sangat marak. Korporasi mengatasnamakan ijin dari negara mengeruk kantong-kantong kehidupan dan penghidupan warga. Tidak jarang penolakan masif dari warga di sekitar lokasi malah mendatang bencana bagi warga sendiri. warga dituduh melawan kehendak Negara atau warga malah diposisikan sebagai pelaku kriminal.

Di propinsi Nusa Tenggara Timur, Pulau Sumba khususnya isu tambang cukup kencang pada tahun 2010-2012. PT. Fathi Resources-Hilgrove Resources satu perusahaan yang bergerak di usaha tambang emas mendapatkan perlawanan dari warga di Sumba terutama di lokasi tambang emas, Kawasan Taman Nasional Lawangi-Wanggameti Sumba Timur dan Taman Nasional Manupeu-Tanadaru Sumba Tengah.

Di Sumba Tengah, gelombang penolakan dari warga membuahkan lahirnya sebuah kohesi sosial dan meningkatnya solidaritas antar warga. Berawal dari kriminalisasi terhadap 3 petani, dimana mereka dituduh melakukan tindak pidana melakukan pembakaran alat berat perusahaan tambang.

Pada tanggal 06 April 2011 perusaahan melakukan pengeboran dilokasi pengembalaan ternak dan dekat wilayah yang dikeramatkan oleh warga (tradisi dan budaya orang Sumba). Di bulan yang sama terjadi kebakaran dilokasi tersebut, alat berat perusahaan terbakar dan ketika warga pergi melihat kejadian tersebut, mereka hanya menemui dua anggota polisi tanpa satu pun operator alat berat perusahaan ditempat. Sial menimpa warga, karena mereka lebih dahulu sampai di tempat kejadian, kemudian mereka dituduh yang melakukan pengrusakan alat berat tersebut. Para petani itu adalah Umbu Djanji, Umbu Mehang, dan Umbu Pendingara.

Ketiga petani yang dengan mudah diseret ke aparat penegak hukum adalah penggerak dan ujung tombak perjuangan warga dalam menolak tambang. Mereka akhirnya diadili pada tanggal 3 Mei 2012 diputuskan bersalah di Pengadilan Negeri Sumba Barat dan mesti menjalani hukuman kurungan 9 bulan penjara.

Baca Juga :   DANDIM 1629/SBD & KAPOLRES SBD SERENTAK BAGIKAN MASKER DI TAMBOLAKA

Kasus tersebut di atas memperingatkan kita bagaimana berusaha melawan lupa begitu kejamnya investasi pertambangan mengancam sendi-sendi kehidupan. Tidak hanya merampas ruang hidup dan merusak limgkungan tetapi dapat mengancam nyawa kita ketika berusaha melawan.

Pada juni tahun 2011 Majelis Sinode Gereja Kristen Sumba melalui keputusan sidang sinode II menyerukan penolakan atas ekplorasi tambang di pulau Sumba. Seruan Gereja pada saat itu begitu sangat kuat sehingga mampu memberikan semangat berjuang bagi rakyat Sumba sebagai bagian dari umatnya.

Suara gereja pada saat itu mempunyai dampak yang luar biasa hingga mampu merubah kebijakan pemerintah untuk mencabut izin tambang. Posisi tawar gereja sebagai salah satu elemen benar-benar dapat diperhitungkan sebagai representasi dari suara umat yang meminta keadilan kepada para pengambil kebijakan.

Saat ini, ketika Pulau Sumba sebagai salah satu pulau tujuan investasi bagi para pemilik modal luar dan dalam negeri. Suara gereja kita tetap berharap akan terus menggema untuk tetap meolak tambang minerba. Kondisi pulau Sumba sebagai pulau kecil tidak layak untuk ditambang jenis apapun. Kemampuan Gereja memposisikan diri sebagai pembela umat manusia akan menghindarkan pulau ini kepungan-kepungan investasi pertambangan.

Ditengah gelombang kran investasi industri pertambangan yang akan mengancam saat ini, dari jumlah 309 izin pertambangn di NTT, 7 izin berada di Sumba. Salah satu izin yang berpotensi akan dikembangkan adalah PT Artha Sumba yang bergerak dalam pertambangan galena di Kecamatan Karera.

Atas kondisi inilah WALHI NTT bersama Barisan Rakyat Tolak Tambang di Sumba (BRANTAS) dan jaringan lainnya di Pulau Sumba pada 28 Mei 2018 kemarin menyerukan kepada segenap elemen bangsa yang peduli untuk bersatu, melakukan aksi dan atau kegiatan lainnya dalam kerangka “menolak lupa” dan medukung Gereja-gereja di Sumba tetap bersuara tolak tambang  minerba.

Baca Juga :   UPACARA HARLA PANCASILA DISERTAI DENGAN PELAPASAN JAMAAH HAJI DAN PENYERAHAN SK P3K

Dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang 29 Mei 2018 yang yang dilakukan Oleh Komunitas BRANTAS dan WALHI NTT di Sungai Mbatakapidu yang dikemas dalam diskusi dan aksi memandang perlu untuk menyatakan sikap: Meminta pemerintah daerah tidak melupakan suara gereja se-Sumba yang telah menyatakan penolakan terhadap segala jenis investasi tambang Minerba di Sumba.

Walhi NTT bersama Jaringan meminta Pemerintah Provinsi NTT dan Pemda se-Sumba tidak memberikan izin tambang di Pulau Sumba; Meminta Pemerintah fokus pada pengembangan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dan tidak menghancurkan lingkungan hidup dan ekosistem sabana di Sumba; Meminta Pemerintah fokus pada pengembangan dan penguatan daya dukung lingkungan terutama konservasi sabana dan kawasan hulu; Mendukung Gereja Se Sumba tetap bersuara menolak pertambangan minerba di Sumba; Meminta elemen masyarakat se-Sumba tetap menolak segala jenis pertambangan Minerba di Sumba.

Pernyataan sikap bersama ini dinyatakan oleh  Antoni Awang – Dinamisator BRANTAS, Petrus Ndamung  – Koordinator Wilayah Kelola Rakyat WALHI NTT di Waingapu Sumba Timur pada 28 Mei 2019 dalam menyongsong Hari Anti Tambang 2018 dengan tema “Dukung dan Kawal Suara Gereja Se-Sumba Menolak Tambang”. (Tim-SJ),-